Nama Batulayang kembali mencuat di publik. Wacana penggantian nama Kabupaten Bandung Barat (KBB) dengan nama tersebut tengah ramai diperbincangkan. Usulan ini bukan hanya menarik perhatian pemerintah, tetapi juga didukung oleh catatan sejarah yang mendalam.
Sejarawan asal Bandung, M Ryzki Wiryawan, menganggap Batulayang bukan sekadar simbol, melainkan jejak identitas lokal yang pernah dihapus oleh kolonialisme. Ia melihat potensi besar di balik nama tersebut sebagai pengganti nama KBB yang dinilai kurang berkarakter.
Jejak Sejarah Batulayang: Kabupaten yang Hilang
Ryzki menjelaskan, Batulayang adalah sebuah kabupaten mandiri pada abad ke-18, jauh sebelum berdirinya Bandung Barat. Wilayah kekuasaannya meliputi tiga distrik besar: Kopo, Rongga, dan Cisondari. Daerah-daerah ini kini menjadi bagian dari Bandung Barat, Kabupaten Bandung, Kota Bandung, dan sebagian Cimahi.
Sejarah Batulayang diulas lengkap dalam buku Ryzki, “Pesona Sejarah Bandung: Perkebunan di Priangan”. Salah satu babnya, “Musnahnya Kabupaten Batulayang”, memaparkan secara rinci perjalanan sejarah kabupaten ini.
Berdirinya Batulayang dan Kejayaan di Tepi Sungai Citarium
Kabupaten Batulayang didirikan oleh Prabu Sang Adipati Kertamanah, seorang bangsawan keturunan Kerajaan Pajajaran. Wilayah ini memiliki sistem pemerintahan sendiri jauh sebelum kedatangan kolonialisme.
Ibu kotanya, Gajah Palembang, terletak di tepi Sungai Ci Tarum, dekat Margahayu saat ini. Nama ini berasal dari kisah R Moh Kabul (Abdul Rohman), penguasa Batulayang yang pada 1770 membawa gajah dari Palembang sebagai hadiah dari tugasnya di bawah VOC.
Salah satu peninggalan Batulayang adalah Leuwigajah, tempat pemandian gajah yang kini menjadi nama kelurahan di Cimahi Selatan.
Penghancuran Batulayang dan Perlawanan Halus terhadap VOC
Tumenggung Rangga Adikusumah II memimpin Batulayang pada 1794–1802. Masa pemerintahannya menjadi titik kritis karena dianggap gagal memenuhi target setoran kopi kepada VOC.
Laporan Pieter Engelhard pada 1802 menyebutkan Tumenggung Rangga Adikusumah mengelola Batulayang dengan buruk, membiarkan perkebunan kopi terbengkalai. Bahkan ada usulan untuk memberhentikannya karena kecanduan opium dan minuman keras.
Namun, Ryzki menduga penelantaran perkebunan kopi merupakan bentuk perlawanan halus terhadap sistem tanam paksa VOC. Hal ini sebagai bentuk penolakan atas kebijakan yang memberatkan rakyat.
Setelah diberhentikan, Tumenggung Rangga Adikusumah diasingkan ke Batavia dan meninggal di sana. Batulayang kemudian dilebur ke dalam Kabupaten Bandung.
Bagi Ryzki, kembalinya nama Batulayang merepresentasikan pemulihan identitas yang pernah hilang akibat kolonialisme. Hal ini juga sebagai pengingat peran penting Batulayang dalam sejarah Tatar Priangan.
Para penguasa Batulayang memiliki hubungan kekerabatan dengan penguasa Bandung. Otto Iskandar Di Nata, pahlawan nasional yang dikenal sebagai Jalak Harupat, merupakan salah satu keturunan Batulayang.
Dukungan Perubahan Nama dan Harapan Masa Depan
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mendukung perubahan nama KBB menjadi nama yang lebih kuat secara identitas. Ia menilai “Bandung Barat” terlalu umum dan kurang daya tarik.
Dedi berpendapat, nama yang berakar sejarah seperti Batulayang dapat memperkuat citra daerah dan membangkitkan kebanggaan warga. Ia siap membantu proses perubahan nama tersebut jika ada niat untuk melakukan branding ulang.
Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Bandung Barat, Sandi Supyandi, setuju dengan usulan nama Batulayang. Ia melihat nama tersebut memiliki nilai historis yang kuat dan tidak kalah dengan nama-nama kabupaten tua lainnya.
Penggunaan nama Batulayang diharapkan dapat menjadi simbol kebangkitan identitas lokal dan mengingatkan generasi muda akan sejarah yang pernah terlupakan. Lebih dari sekadar nama, ini tentang pemulihan sebuah warisan dan kebanggaan daerah.