Usulan pergantian nama Kabupaten Bandung Barat (KBB) menjadi Batulayang tengah ramai diperbincangkan. Gagasan ini muncul dari DPRD Bandung Barat, didukung oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi.
Mereka berpendapat, nama “Batulayang” lebih merepresentasikan jati diri daerah dan sejarahnya dibandingkan dengan nama yang sekarang, yang dianggap terlalu dekat dengan Kota Bandung.
Sejarah Batulayang: Lebih dari Sekadar Nama Desa
Ketua Komisi I DPRD Bandung Barat, Sandi Supyandi, menjelaskan bahwa Batulayang bukan nama baru. Nama ini memiliki akar sejarah yang kuat.
Kabupaten Batulayang pernah ada pada abad ke-19, wilayahnya meliputi daerah yang kini termasuk Kopo, Rongga, dan Cisondari. Baru kemudian, pemerintahan Hindia Belanda meleburkannya ke dalam Kabupaten Bandung sekitar tahun 1802.
Meskipun sekarang Batulayang hanya dikenal sebagai nama desa di Kecamatan Cililin, nilai sejarahnya signifikan. Wilayah ini pernah sejajar dengan daerah-daerah ternama seperti Cianjur, Sumedang, dan Sukapura.
Sandi menambahkan, menghidupkan kembali nama Batulayang dapat memperkuat identitas budaya Sunda di Bandung Barat.
Alasan Pergantian Nama: Branding dan Citra Baru
Pergantian nama ini juga diharap mampu memperbaiki citra Bandung Barat. Daerah ini sebelumnya sempat terdampak isu korupsi di tingkat pemerintahan.
Sandi menuturkan, perubahan nama diharapkan menjadi “obat” untuk citra buruk tersebut, layaknya mengganti nama anak yang sakit agar sembuh. Bandung Barat membutuhkan identitas baru yang mencerminkan karakteristik budayanya.
Nama Batulayang dinilai mampu menjadi branding baru yang kuat dan mudah diingat, sekaligus meninggalkan stigma negatif di masa lalu.
Dedi Mulyadi: Branding “Bandung Barat” Terlalu Melekat pada Kota Bandung
Gubernur Dedi Mulyadi sebelumnya telah menyoroti kesulitan dalam membangun branding untuk “Bandung Barat”.
Nama tersebut, menurutnya, selalu mengasosiasikan wilayah tersebut dengan Kota Bandung, baik kota maupun kabupatennya.
Dalam pidatonya di Rapat Paripurna Hari Jadi KBB ke-18, Dedi menekankan kekayaan budaya dan sejarah Bandung Barat yang sebenarnya tak kalah menarik.
Nama-nama desa seperti Mandalawangi, Padalarang, dan Lembang, menunjukkan kekhasan daerah ini yang semestinya lebih diutamakan.
Namun, Dedi menyadari dilema dalam memilih nama. Setiap pilihan nama desa berpotensi menimbulkan penolakan dari daerah lain.
Ia juga mengkritik penggunaan penunjuk arah mata angin (“Barat”) dalam nama daerah, karena sifatnya relatif dan bisa berbeda persepsinya dari berbagai sudut pandang geografis.
Meskipun demikian, Dedi tidak memaksakan perubahan nama. Ia hanya menyatakan kesiapannya untuk mendukung jika ada niat serius dari pemerintah daerah untuk melakukan rebranding melalui pergantian nama.
Perubahan nama ini, jika terwujud, diharapkan mampu membawa angin segar bagi pembangunan dan kemajuan Kabupaten Bandung Barat.
Ke depannya, proses penggantian nama ini akan memerlukan kajian mendalam dan melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat Bandung Barat sendiri, untuk memastikan dukungan dan penerimaan yang luas.