Fenomena “manusia tikus” (老鼠人, *lǎoshūrén*) baru-baru ini merebak di kalangan Gen Z China. Istilah ini menggambarkan gaya hidup pasif dan menarik diri sebagai bentuk protes terhadap tekanan kerja dan *burnout*. Tren ini menarik perhatian karena menggambarkan realita perjuangan generasi muda di tengah persaingan ekonomi yang ketat.
Para “manusia tikus” menghabiskan sebagian besar waktu mereka di kamar. Mereka kerap bangun siang, berlama-lama di tempat tidur, dan menghabiskan waktu dengan aktivitas digital.
Gaya Hidup “Manusia Tikus”: Terkurung di Kamar
“Manusia tikus” umumnya bangun jauh di atas pukul 12 siang. Aktivitas mereka meliputi berlama-lama di tempat tidur, bermain gim, atau menonton drama.
Mereka seringkali hanya memesan makanan lewat aplikasi daring. Beberapa bahkan mengaku hanya makan sekali sehari.
Tidur larut malam juga menjadi ciri khas mereka. Kebanyakan baru tidur setelah pukul 12 malam.
Ada beberapa yang menghabiskan waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu tanpa keluar rumah. Mereka hanya bangun untuk ke toilet atau saat lapar, lalu kembali tidur.
Protes Terselubung: Burnout dan Persaingan Kerja
Fenomena ini muncul sebagai bentuk protes atas tekanan dan persaingan kerja yang tinggi. *Burnout*, kondisi kelelahan fisik dan mental akibat stres berkepanjangan, menjadi latar belakang utama munculnya tren ini.
Banyak “manusia tikus” berbagi cerita di media sosial Xiaohongshu. Video-video mereka menarik perhatian ribuan pengguna dan menjadi viral.
Pu Yiqin, seorang mahasiswi pascasarjana di King’s College London, mengakui dirinya sebagai “manusia tikus”. Ia mengungkapkan bahwa ini adalah cerminan dari realita yang dialaminya.
Dampak Sosial dan Psikologis Fenomena “Manusia Tikus”
Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran akan dampaknya pada kesehatan mental generasi muda. Kurangnya interaksi sosial dan gaya hidup sedentari berisiko meningkatkan masalah kesehatan fisik dan mental.
Pentingnya dukungan sistemik dan perubahan budaya kerja yang lebih humanis menjadi sorotan. Sistem yang terlalu kompetitif dan menuntut tanpa keseimbangan bisa menimbulkan dampak buruk.
Perlu adanya kesadaran untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih mendukung kesehatan mental. Hal ini dapat mencegah munculnya lebih banyak kasus *burnout* dan fenomena serupa di masa mendatang.
Tren “manusia tikus” menjadi refleksi penting mengenai keseimbangan antara tuntutan pekerjaan dan kesehatan mental. Ini menuntut perhatian serius dari berbagai pihak, baik individu, perusahaan, maupun pemerintah, untuk menciptakan lingkungan yang lebih mendukung kesejahteraan generasi muda. Perubahan sistemik dan budaya kerja yang lebih berfokus pada kesejahteraan mental menjadi solusi yang perlu dikaji secara mendalam. Generasi muda membutuhkan dukungan untuk dapat menghadapi tekanan tanpa harus memilih jalan ekstrem seperti menarik diri dari masyarakat.
