Erupsi Gunung Lewotobi di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Rabu (18/6/2025) menyebabkan dampak signifikan terhadap operasional Bandara Komodo di Labuan Bajo. Sebanyak 12 penerbangan terpaksa dibatalkan, meninggalkan puluhan wisatawan asing dan domestik terdampar.
Sebagai respon atas situasi darurat ini, otoritas setempat bergerak cepat untuk memastikan keselamatan dan evakuasi para wisatawan yang terdampak.
Evakuasi Darurat Melalui Jalur Laut
Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Labuan Bajo, Stephanus Risdiyanto, menjelaskan bahwa tim gabungan dari pemerintah daerah, TNI, dan Polri langsung membentuk posko siaga di Pelabuhan Marina Waterfront.
Posko tersebut diaktifkan berdasarkan informasi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) serta otoritas Bandara Komodo terkait pembatalan penerbangan akibat abu vulkanik.
Hingga Rabu sore, tercatat 315 penumpang telah dievakuasi melalui jalur laut. Mereka diangkut menuju berbagai tujuan, termasuk Bima, Lombok, dan Sape.
Ratusan Penumpang Dievakuasi Menuju Berbagai Tujuan
Dari total 315 penumpang yang dievakuasi, 88 di antaranya menggunakan speed boat. Rinciannya, 59 warga negara asing (WNA) dan 29 warga negara Indonesia (WNI).
Evakuasi dilakukan menggunakan berbagai armada kapal, antara lain KM Sabuk Nusantara 55 menuju Bima.
Menuju Labuhan Lombok, terdapat KLM Lady Grace, KLM Bunga Batari 02, dan KLM Fahri Jaya yang diterjunkan.
Sementara itu, kapal-kapal menuju Sape meliputi KMP Cakalang, SB Pinguin 03, SB Pinguin 04, SB Pinguin 05, SB Wallet 03, SB Wallet 04, SB Amfibi 01, dan SB Dregs 03.
Selain penumpang, evakuasi juga mencakup pengangkutan barang berupa 10 unit motor, 2 unit mobil, dan 1 unit truk.
Dampak Erupsi Terhadap Sektor Pariwisata
Pembatalan penerbangan ini memberikan dampak signifikan terhadap sektor pariwisata Labuan Bajo, yang dikenal sebagai destinasi wisata populer. Banyak wisatawan yang terpaksa menunda atau membatalkan rencana perjalanan mereka.
Pemerintah daerah setempat dikabarkan tengah berupaya meminimalisir dampak negatif terhadap industri pariwisata dan memberikan dukungan kepada para pelaku usaha yang terdampak.
Kejadian ini juga menjadi pengingat pentingnya kesiapsiagaan menghadapi bencana alam, terutama di daerah-daerah rawan bencana seperti Labuan Bajo. Sistem peringatan dini dan rencana kontijensi yang efektif sangat krusial untuk meminimalisir dampak negatif dan melindungi keselamatan warga dan wisatawan.
Kecepatan respon dan koordinasi antar instansi dalam melakukan evakuasi patut diapresiasi. Hal ini menunjukkan kesiapan dan kemampuan pemerintah daerah dalam menghadapi situasi darurat.
Ke depan, penting untuk terus meningkatkan sistem perencanaan dan penanganan bencana guna meminimalisir dampak negatif terhadap masyarakat dan sektor pariwisata.
Semoga situasi segera pulih dan pariwisata Labuan Bajo dapat kembali normal.