Perang kognitif, sebuah medan pertempuran baru di era hiperrealitas, mengancam stabilitas informasi dan persepsi publik. Di dunia digital yang semakin kabur antara realitas dan simulasi, disinformasi, fitnah, dan ujaran kebencian mudah menyebar dan mempengaruhi opini masyarakat. Oleh karena itu, kolaborasi erat antara pemerintah, media, dan masyarakat menjadi kunci untuk menanggulangi ancaman ini.
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menekankan pentingnya kolaborasi tersebut dalam sebuah diskusi di Jakarta. Ia menjelaskan bahwa hiperrealitas telah menciptakan kondisi di mana sulit membedakan antara informasi yang benar dan palsu.
Kolaborasi Multipihak: Kunci Menghadapi Perang Kognitif
Menurut Hasan Nasbi, tidak ada satu institusi pun yang mampu melawan penyebaran disinformasi sendirian. Upaya ini membutuhkan kerja sama yang masif dan kesadaran kolektif dari berbagai elemen masyarakat.
Laporan Global Risk Report 2025 World Economic Forum mengungkapkan bahwa disinformasi, fitnah, dan ujaran kebencian akan menjadi ancaman global utama dalam sepuluh tahun mendatang jika tidak segera ditangani.
Oleh karena itu, kolaborasi yang efektif harus melibatkan pemerintah, media massa, platform media sosial, dan masyarakat luas. Hanya dengan sinergi tersebut, ancaman penyebaran informasi menyesatkan dapat diatasi.
Peran Pemerintah dan Masyarakat dalam Penanggulangan Disinformasi
Pakar Komunikasi Publik, Widodo Muktiyo, menambahkan bahwa pendekatan kolaboratif (“collaborative centric”) sangat krusial dalam menghadapi masalah ini. Ia menekankan pentingnya peran pemerintah dan masyarakat yang saling melengkapi, bukan bekerja secara terpisah.
Widodo Muktiyo, yang juga anggota Dewan Pengawas LKBN ANTARA, menyatakan bahwa kolaborasi jangka panjang hanya dapat terwujud jika ada kesamaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat dalam menjaga keutuhan bangsa. Hal ini membutuhkan komitmen bersama untuk melawan segala bentuk serangan yang bertujuan memecah belah.
Pentingnya membangun kesamaan persepsi ini tak dapat diabaikan. Dengan visi yang sama, akan lebih mudah mengidentifikasi dan menetralisir upaya-upaya yang bertujuan untuk merusak persatuan dan kesatuan bangsa.
Strategi Efektif Pertamina dalam Mengatasi Disinformasi
VP Corporate Communication PT Pertamina (Persero), Fadjar Djoko Santoso, membagikan pengalaman perusahaannya dalam mengatasi disinformasi, khususnya setelah kasus pengoplosan BBM Pertamax. Pertamina berhasil menekan penyebaran informasi yang tidak akurat melalui kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk media massa.
Pertamina menyediakan informasi akurat dan mendistribusikannya secara cepat melalui berbagai kanal. Kerja sama dengan media, termasuk Garuda TV dan ANTARA, terbukti efektif dalam mengklarifikasi informasi yang salah.
Selain itu, pusat panggilan 135 Pertamina berperan penting dalam menerima laporan dan klarifikasi dari masyarakat. Integrasi dengan berbagai kanal komunikasi memudahkan masyarakat untuk mengecek kebenaran informasi terkait Pertamina.
Kepercayaan publik berhasil dipulihkan setelah Pertamina membuktikan kualitas BBM sesuai spesifikasi dan memastikan proses hukum tetap berlanjut. Respon cepat dan transparansi terbukti menjadi kunci keberhasilan dalam mengatasi disinformasi.
Kesimpulannya, perang kognitif di era hiperrealitas membutuhkan strategi yang komprehensif dan kolaboratif. Keterlibatan semua pihak, dari pemerintah hingga masyarakat, sangat penting untuk menciptakan lingkungan informasi yang sehat dan mencegah penyebaran disinformasi, fitnah, dan ujaran kebencian. Keberhasilan Pertamina dalam mengatasi isu disinformasi menjadi contoh nyata betapa pentingnya kolaborasi dan respon yang cepat serta transparan.