Ketegangan Iran-Israel kembali meningkat tajam setelah serangan udara Israel terhadap beberapa lokasi di Teheran, Jumat (13/6). Serangan balasan Iran pun segera menyusul, memicu eskalasi konflik yang mengancam stabilitas regional dan menimbulkan kekhawatiran global.
Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, dalam pernyataan resminya Minggu (15/6), menegaskan kesiapan negaranya untuk menghentikan serangan jika Israel juga melakukan hal yang sama. Pernyataan ini muncul di tengah meningkatnya kecaman internasional terhadap aksi kekerasan yang telah mengakibatkan korban jiwa di kedua belah pihak.
Serangan Timbal Balik dan Korban Jiwa
Serangan udara Israel pada Jumat lalu menargetkan fasilitas militer dan nuklir di Teheran. Iran membalas dengan serangan terhadap fasilitas ekonomi dan industri di Haifa, Israel, pada Sabtu malam.
Gelombang serangan susulan terjadi di kedua negara, mengakibatkan korban jiwa yang signifikan. Iran melaporkan 78 kematian pada hari pertama serangan Israel, dengan puluhan lainnya, termasuk anak-anak, menjadi korban pada hari berikutnya.
Eskalasi konflik ini mengakibatkan terhentinya negosiasi nuklir tidak langsung antara Iran dan Amerika Serikat yang dimediasi Oman. Putaran keenam pembicaraan yang dijadwalkan berlangsung Minggu di Muskat terpaksa ditunda.
Tuduhan Keterlibatan AS dan Bantahan Iran
Araghchi secara tegas menuding Amerika Serikat terlibat dalam serangan Israel terhadap Teheran. Ia mengklaim memiliki bukti kuat yang menunjukkan koordinasi dan dukungan AS terhadap aksi militer Israel.
Pernyataan Presiden AS Donald Trump yang menyebutkan bahwa serangan tersebut “tidak mungkin terjadi tanpa peralatan Amerika” menjadi salah satu dasar tuduhan Iran. Araghchi juga menunjuk pada kegagalan AS untuk mengutuk keras serangan tersebut sebagai indikasi keterlibatan.
Iran menolak bantahan AS atas keterlibatannya dalam serangan sebelumnya terhadap fasilitas nuklir Natanz pada tahun 2020. Araghchi menekankan adanya “bukti yang saling bertentangan” yang membantah klaim AS tersebut.
Ia menegaskan bahwa AS seharusnya mengutuk serangan tersebut secara terbuka dan tegas, bukan sekadar pesan tertutup. Iran pun mendesak komunitas internasional untuk mengakui pelanggaran hukum internasional yang dilakukan Israel.
Dampak terhadap Negosiasi Nuklir dan Langkah Selanjutnya Iran
Araghchi menyatakan bahwa Israel secara berulang kali menyabotase negosiasi nuklir, termasuk insiden sabotase di Natanz pada tahun 2020. Sebagai tanggapan, Iran meningkatkan pengayaan uranium hingga 60 persen dan mengganti sentrifugal yang rusak.
Meskipun menghadapi provokasi, Iran menegaskan komitmennya terhadap negosiasi dengan AS. Namun, Araghchi menekankan bahwa penentangan Israel terhadap kesepakatan nuklir dan upaya penggagalan diplomasi menjadi tantangan besar.
Menanggapi serangan terbaru terhadap Natanz, Iran secara resmi meminta Badan Energi Atom Internasional (IAEA) untuk menggelar sidang luar biasa. Serangan tersebut dianggap sebagai “garis merah” yang melanggar hukum internasional.
Ketegangan yang terus meningkat antara Iran dan Israel menimbulkan kekhawatiran akan potensi konflik berskala besar. Perkembangan situasi ini perlu dipantau secara ketat mengingat dampaknya terhadap stabilitas regional dan global.
Pernyataan Araghchi yang menekankan kesiapan Iran untuk menghentikan serangan balasan jika Israel melakukan hal yang sama menawarkan secercah harapan untuk de-eskalasi. Namun, kepercayaan dan itikad baik dari semua pihak sangat krusial untuk mencapai penyelesaian damai dan mencegah konflik yang lebih luas.