Mahkamah Agung (MA) telah memberikan keputusan baru dalam kasus korupsi pengadaan e-KTP yang melibatkan mantan Ketua DPR, Setya Novanto. Permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Novanto dikabulkan. Hal ini berdampak pada pengurangan hukuman penjara dan pencabutan hak politiknya.
Putusan PK nomor 32 PK/Pid.Sus/2020, yang diakses melalui situs resmi MA pada 2 Juli 2025, menyatakan Novanto terbukti bersalah berdasarkan Pasal 3 juncto Pasal 18 UU PTPK juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Hukumannya direvisi.
Pengurangan Masa Penjara dan Denda
MA mengurangi hukuman penjara Setya Novanto menjadi 12 tahun 6 bulan. Putusan ini diketuk oleh majelis hakim yang diketuai Hakim Agung Surya Jaya, bersama anggota Sinintha Yuliansih Sibarani dan Sigid Triyono pada 4 Juni 2025.
Selain itu, pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk menduduki jabatan publik juga dikurangi menjadi 2 tahun 6 bulan, terhitung sejak Novanto menyelesaikan masa pemidanaan.
Novanto juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Uang Pengganti dan Kewajiban Keuangan
Terkait uang pengganti (UP), Novanto tetap dibebankan kewajiban membayar USD 7,3 juta.
Namun, putusan MA menjelaskan bahwa USD 7.300.000 akan dikompensasi dengan Rp 5.000.000.000 yang telah dititipkan Novanto kepada penyidik KPK dan telah disetorkan.
Sisa UP sebesar Rp 49.052.289.803 harus dibayarkan, dengan subsider 2 tahun penjara jika tidak dipenuhi.
Perbandingan dengan Putusan Sebelumnya
Sebelumnya, pada tahun 2018, Setya Novanto divonis 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan dalam kasus korupsi e-KTP yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun.
Vonis tersebut juga menghukum Novanto membayar uang pengganti USD 7,3 juta dikurangi Rp 5 miliar yang telah dititipkan ke KPK, dengan subsider 2 tahun penjara.
Selain itu, ia juga dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak menduduki jabatan publik selama 5 tahun setelah menjalani masa pemidanaan.
Dengan putusan PK ini, hukuman penjara Novanto berkurang signifikan, begitu pula dengan masa pencabutan hak politiknya. Kasus ini menandai babak baru dalam perjalanan hukum mantan Ketua DPR tersebut.
Putusan MA ini tentunya menimbulkan berbagai reaksi dan interpretasi. Perkembangan selanjutnya terkait pelaksanaan putusan dan kemungkinan langkah hukum lainnya perlu dipantau. Transparansi dan akuntabilitas dalam proses penegakan hukum tetap menjadi hal yang krusial.