Presiden Amerika Serikat Donald Trump menuai kecaman luas dari Kongres, termasuk dari sesama Partai Republik, setelah memerintahkan serangan udara ke tiga fasilitas nuklir utama Iran akhir pekan lalu. Serangan yang dilakukan tanpa konsultasi dengan DPR dan Senat AS ini memicu kontroversi besar.
Serangan pada Sabtu (21/6) malam waktu setempat menargetkan Isfahan, Natanz, dan Fordow, tiga lokasi strategis dalam program nuklir Iran. Trump mengklaim berhasil menghancurkan Fordow, fasilitas bawah tanah yang dianggap sulit dijangkau.
“Jika Iran tidak menghentikan perang terhadap Israel, serangan berikutnya akan jauh lebih besar dan jauh lebih cepat,” ancam Trump dalam konferensi pers di Gedung Putih. Pernyataan tegas ini semakin memanaskan situasi geopolitik yang sudah tegang.
Kritik Tajam dari Kongres dan Publik
Anggota Kongres dari Partai Demokrat dan Republik sama-sama mengecam keputusan Trump. Banyak yang mempertanyakan dasar hukum serangan tersebut dan menyebutnya sebagai pelanggaran konstitusi.
Senator Demokrat Chris Van Hollen menyebut tindakan Trump sebagai pelanggaran konstitusi, karena mengabaikan kewenangan Kongres untuk mendeklarasikan perang. Senator Tim Kaine menyebutnya tindakan “main hakim sendiri” yang berbahaya, berpotensi menyeret AS ke perang terbuka dengan Iran.
Bahkan dari Partai Republik, Anggota Kongres Thomas Massie juga menyatakan ketidaksetujuannya, menekankan perlunya izin Kongres terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan militer sebesar itu. Sentimen publik pun terbelah, dengan sebagian besar masyarakat mengkhawatirkan eskalasi konflik.
Analisis Hukum dan Konstitusional
Konstitusi AS Pasal I memberikan wewenang kepada Kongres untuk menyatakan perang, sementara Pasal II menetapkan presiden sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata. Pemerintah AS sering menggunakan Pasal II untuk operasi militer terbatas tanpa persetujuan Kongres.
Claire Finkelstein dari University of Pennsylvania menjelaskan bahwa presiden memang memiliki wewenang untuk melakukan serangan militer terbatas tanpa izin Kongres. Namun, Andrew Rudalevige dari Bowdoin College berpendapat bahwa serangan terhadap Iran tidak dapat dibenarkan karena tidak ada ancaman langsung yang memerlukan pembalasan segera.
Jessica Levinson dari Loyola Law School menambahkan bahwa presiden hanya boleh bertindak militer dalam skala yang tidak mencapai tingkat peperangan penuh, meskipun batasannya tidak diatur secara tegas dalam hukum. Perdebatan mengenai interpretasi konstitusional ini menjadi pusat perbincangan.
Preseden dari Presiden Sebelumnya dan Undang-Undang ‘War Powers’
Presiden sebelumnya juga pernah melakukan tindakan serupa. Barack Obama menyerang Libya, Bill Clinton menyerang Balkan, dan Joe Biden menyerang target Houthi di Yaman dan Suriah, semuanya tanpa persetujuan penuh Kongres.
Trump sendiri pernah memerintahkan pembunuhan Jenderal Qasem Soleimani tanpa izin Kongres. Serangan terhadap Iran ini dianggap sebagai eskalasi yang signifikan dari tindakan-tindakan sebelumnya. Para kritikus menilai tindakan Trump melanggar ‘War Powers Resolution’ tahun 1973.
Meskipun UU ini mengizinkan presiden untuk menggunakan kekuatan militer dalam keadaan darurat tanpa persetujuan Kongres, ia mewajibkan presiden untuk berkonsultasi dengan Kongres sebelum mengerahkan angkatan bersenjata ke dalam konflik. Banyak yang berpendapat bahwa Trump tidak memenuhi kewajiban ini.
John Bellinger, mantan penasihat hukum Gedung Putih, mengatakan bahwa Trump tampaknya tidak melakukan konsultasi substantif, hanya memberi tahu beberapa pimpinan Partai Republik. Chuck Schumer, pemimpin minoritas Senat dari Demokrat, hanya diberi tahu sekitar satu jam sebelum serangan, tanpa rincian yang memadai.
Juru Bicara Gedung Putih dan Menteri Pertahanan membela tindakan tersebut dengan mengklaim telah memenuhi kewajiban pemberitahuan sesuai dengan War Powers Act. Namun, transparansi dan konsultasi yang memadai tetap dipertanyakan.
Serangan tersebut menimbulkan pertanyaan mendalam tentang keseimbangan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif dalam hal penggunaan kekuatan militer, dan membuka debat panjang mengenai interpretasi konstitusional dan implikasi internasionalnya.
Kontroversi ini menyoroti kompleksitas hubungan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam menentukan kebijakan luar negeri, khususnya terkait penggunaan kekuatan militer.
Peristiwa ini juga menggarisbawahi pentingnya dialog dan konsultasi yang transparan antara cabang-cabang pemerintahan dalam pengambilan keputusan yang berdampak luas pada keamanan nasional dan hubungan internasional.
Halaman Selanjutnya
Untuk analisis yang lebih mendalam tentang implikasi hukum dan konstitusional dari serangan tersebut, silakan baca halaman selanjutnya.
Halaman 1 Halaman 2