Mantan Camat Gajahmungkur, Kota Semarang, Ade Bhakti Ariawan, memberikan kesaksian mengejutkan dalam persidangan kasus dugaan suap mantan Wali Kota Semarang. Kesaksiannya mengungkap aliran dana mencapai Rp350 juta kepada aparat penegak hukum. Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai integritas penegakan hukum dan transparansi pemerintahan daerah.
Pengakuan Ade Bhakti membuka tabir gelap praktik pemberian uang kepada aparat penegak hukum. Detail transaksi dan perannya dalam peristiwa tersebut menjadi fokus utama kesaksiannya. Pernyataan ini tentu saja memiliki implikasi hukum dan etika yang signifikan.
Aliran Dana Rp350 Juta kepada Aparat Penegak Hukum
Ade Bhakti Ariawan, yang kini menjabat sebagai Sekretaris Dinas Pemadam Kebakaran Kota Semarang, mengaku turut mengantar uang Rp350 juta kepada Kanit Tipikor Polrestabes Semarang (Rp200 juta) dan Kasi Intelijen Kejari Kota Semarang (Rp150 juta). Penyerahan uang tersebut, atas perintah Eko Yuniarto, mantan Ketua Paguyuban Camat Kota Semarang, dilakukan pada April 2023.
Ia menjelaskan bahwa saat penyerahan uang di Polrestabes Semarang, dirinya hanya menunggu di luar ruangan. Sementara itu, saat penyerahan uang di Kejaksaan Negeri, ia datang terlambat dan Eko Yuniarto sudah bertemu dengan penerima uang. Proses ini menunjukkan adanya perencanaan dan upaya untuk menghindari jejak digital serta pengawasan.
Keterkaitan dengan Proyek Penunjukan Langsung
Kesaksian Ade Bhakti juga menyinggung proyek penunjukan langsung di 16 kecamatan. Proyek ini diduga diminta oleh Alwin Basri, suami mantan Wali Kota Semarang, Hevearita G. Rahayu. Permintaan tersebut disampaikan dalam pertemuan para camat di Kota Salatiga.
Awalnya, Alwin Basri meminta anggaran sebesar Rp20 miliar. Namun, akhirnya disepakati anggaran sebesar Rp16 miliar untuk proyek-proyek penunjukan langsung tersebut. Ade Bhakti membenarkan adanya fee 13 persen dari total anggaran yang harus disetor kepada terdakwa Martono, Ketua Gapensi Semarang.
Fee Proyek dan Permintaan Alwin Basri
Ade Bhakti menjelaskan bahwa para camat menyetujui permintaan proyek dari Alwin Basri karena menganggapnya sebagai representasi dari Wali Kota Semarang. Hal ini menunjukkan adanya dugaan intervensi dari pihak luar dalam pengambilan keputusan proyek pemerintah daerah.
Ia juga menjelaskan bahwa sebelum penyerahan uang kepada aparat penegak hukum, dirinya telah menyerahkan uang Rp148 juta kepada Lina, staf Martono di PT Chimarder 777. Uang tersebut merupakan fee dari proyek penunjukan langsung di Kecamatan Gajahmungkur. Jumlah uang tersebut kemudian ditambah oleh Lina sekitar Rp180 juta, sebelum akhirnya disalurkan kepada aparat.
Bantahan Terdakwa dan Implikasi Hukum
Terdakwa Martono membantah memerintahkan pemberian uang kepada aparat penegak hukum. Ia mengklaim bahwa uang tersebut diperuntukkan bagi kebutuhan paguyuban camat. Namun, kesaksian Ade Bhakti menimbulkan pertanyaan tentang kebenaran pernyataan tersebut.
Kesaksian Ade Bhakti merupakan bukti penting dalam persidangan kasus dugaan suap ini. Pengungkapan aliran dana kepada aparat penegak hukum menunjukkan adanya indikasi pelanggaran hukum yang serius dan perlu ditelusuri lebih lanjut. Proses hukum selanjutnya akan menentukan apakah ada pihak lain yang terlibat dan bagaimana pertanggungjawaban hukum atas tindakan yang telah dilakukan.
Kesimpulannya, kesaksian Ade Bhakti Ariawan telah membuka cakrawala baru dalam kasus dugaan suap mantan Wali Kota Semarang. Aliran dana kepada aparat penegak hukum dan keterlibatan proyek penunjukan langsung menimbulkan keprihatinan besar terhadap transparansi dan integritas pemerintahan daerah. Penting bagi penegak hukum untuk menyelidiki lebih dalam kasus ini agar keadilan dapat ditegakkan dan kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah dapat dipulihkan. Kasus ini juga menjadi pengingat pentingnya pengawasan yang ketat terhadap pengelolaan keuangan daerah dan pelaksanaan proyek pemerintah.