Persengketaan kepemilikan empat pulau di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara kembali memanas. Keempat pulau, Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang, telah ditetapkan masuk wilayah administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025. Namun, Pemerintah Aceh mempertanyakan keputusan ini dan bersiap mengajukan argumen berdasarkan kesepakatan bersama tahun 1992.
Langkah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk menyelesaikan sengketa ini patut diapresiasi. Upaya mediasi antara pemerintah Aceh dan Sumatera Utara diharapkan dapat menciptakan solusi yang adil dan mengakhiri perselisihan yang telah berlangsung lama.
Pertemuan Mendagri dan Gubernur Aceh: Mencari Titik Temu
Kemendagri telah mengundang Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, untuk membahas sengketa kepemilikan empat pulau tersebut. Pertemuan ini akan mempertemukan Mendagri Tito Karnavian dan Gubernur Muzakir Manaf untuk membahas solusi.
Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri), Bima Arya Sugiarto, mengungkapkan bahwa penentuan waktu pertemuan masih dalam tahap koordinasi. Belum ada kepastian tanggal pasti pelaksanaan pertemuan tersebut.
Polemik Batas Wilayah yang Berlarut
Perselisihan batas wilayah administrasi antara Aceh dan Sumatera Utara telah berlangsung sejak tahun 1928. Persoalan ini kembali mencuat dengan adanya keputusan Kemendagri yang menetapkan keempat pulau tersebut di bawah administrasi Sumatera Utara.
Keputusan tersebut menimbulkan reaksi dari Pemerintah Aceh yang merasa memiliki hak atas pulau-pulau tersebut berdasarkan sejarah dan administrasi. Kedua belah pihak memiliki argumen kuat yang perlu dipertimbangkan.
Dokumen Kesepakatan 1992: Senjata Utama Aceh
Pemerintah Aceh akan menggunakan kesepakatan bersama tahun 1992 antara Pemerintah Aceh dan Sumatera Utara sebagai dasar argumen mereka. Kesepakatan ini menetapkan keempat pulau sebagai bagian dari wilayah Aceh.
Dokumen tersebut ditandatangani oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dan Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar, disaksikan langsung oleh Mendagri Rudini. Kredibilitas dokumen ini diharapkan dapat menjadi kunci penyelesaian sengketa.
Isi Kesepakatan Bersama Tahun 1992
Kesepakatan tahun 1992 secara rinci menjabarkan alasan mengapa keempat pulau tersebut masuk dalam wilayah administratif Aceh. Rincian tersebut termasuk data historis, bukti kepemilikan, dan pertimbangan administratif lainnya.
Pemerintah Aceh berharap dokumen ini akan menjadi pertimbangan utama Kemendagri dalam meninjau kembali Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025.
Kemendagri sendiri telah menyatakan akan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk faktor historis, dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini memberikan harapan bagi Pemerintah Aceh untuk mendapatkan solusi yang adil.
Penyelesaian sengketa ini diharapkan dapat menciptakan kejelasan hukum dan menghindari potensi konflik di masa depan. Kerjasama dan komunikasi yang baik antara pemerintah pusat, Aceh, dan Sumatera Utara sangat penting dalam mencapai solusi yang memuaskan semua pihak.
Proses negosiasi yang transparan dan melibatkan semua pihak terkait akan memberikan dampak positif bagi hubungan antar daerah dan penegakan hukum di Indonesia. Keberhasilan penyelesaian sengketa ini akan menjadi contoh bagi penyelesaian konflik batas wilayah lainnya di Indonesia.