Bandara Dhoho di Kediri, Jawa Timur, yang baru beroperasi April 2024, kini menghadapi tantangan besar. Sejak pertengahan Mei 2025, bandara yang sempat diproyeksikan sebagai alternatif bandara internasional di Jawa Timur bagian selatan ini sepi dari aktivitas penerbangan. Keheningan ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai masa depan bandara yang memiliki landasan pacu sepanjang 3.300 meter tersebut.
Awalnya, harapan tinggi mengiringi beroperasinya Bandara Dhoho. Namun, realita berkata lain. Berbagai kendala muncul, jauh lebih kompleks daripada sekadar perawatan armada maskapai.
Perawatan Pesawat dan Rendahnya Keterisian Penumpang
PT Angkasa Pura I menyatakan penghentian penerbangan sejak 14 Mei 2025 disebabkan perawatan pesawat Citilink, satu-satunya maskapai yang melayani rute Kediri-Jakarta. Walaupun bandara tetap beroperasi sesuai jadwal, tidak ada penerbangan komersial hingga setidaknya akhir Juli 2025.
Namun, alasan tersebut hanyalah sebagian kecil dari permasalahan yang sebenarnya. Faktor utama penyebab sepinya Bandara Dhoho adalah rendahnya okupansi atau jumlah penumpang.
Citilink hanya melayani dua kali penerbangan per minggu. Sebelumnya, Super Air Jet sempat melayani rute Balikpapan, namun tidak bertahan lama. Hal ini menunjukkan minimnya minat pasar terhadap Bandara Dhoho.
Harga Tiket dan Keterbatasan Rute
Di media sosial, banyak keluhan terkait harga tiket Bandara Dhoho yang lebih mahal dibanding Bandara Juanda di Surabaya. Keterbatasan rute penerbangan juga menjadi faktor penghambat.
Calon penumpang lebih memilih efisiensi waktu dan biaya dengan terbang dari Bandara Juanda yang memiliki jadwal penerbangan lebih padat dan aksesibilitas lebih baik ke berbagai kota besar. Hal ini membuat Bandara Dhoho kurang menarik bagi masyarakat.
Aksesibilitas dan Sinergi Pariwisata yang Lemah
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menekankan rendahnya minat penumpang sebagai faktor penentu keberhasilan operasional bandara. Maskapai akan terus melayani rute selama ada permintaan pasar.
Bandara Banyuwangi, misalnya, sukses karena didukung sektor pariwisata yang aktif. Bandara Dhoho, sebaliknya, belum memiliki dukungan pariwisata dan konektivitas yang memadai.
Djoko menyarankan sinergi dengan daerah sekitar seperti Tulungagung, Trenggalek, dan Blitar untuk mengembangkan potensi wisata. Tanpa alasan kuat untuk mengunjungi Kediri, orang akan enggan terbang ke sana. Kurangnya transportasi umum dari kota-kota sekitar menuju bandara juga menjadi kendala.
Ketidakmampuan Bersaing dan Perlunya Pengembangan Terpadu
Aksesibilitas yang buruk membuat Bandara Dhoho kalah bersaing dengan Bandara Juanda di Sidoarjo dan Bandara Abdulrachman Saleh di Malang. Tanpa transportasi lanjutan yang memadai, calon penumpang akan berpikir dua kali untuk menggunakan bandara ini.
Pemerintah daerah disarankan untuk tidak hanya fokus membangun infrastruktur bandara, tetapi juga mengembangkan kawasan penyangga dan konektivitasnya, termasuk penyediaan transportasi antarkota dan promosi wisata. Bandara Dhoho memiliki potensi besar dengan landasan pacu yang panjang, tetapi tanpa integrasi dengan sektor pariwisata dan transportasi, ia akan menjadi proyek infrastruktur yang sia-sia.
Pengalaman Bandara Kertajati yang pernah mengalami hal serupa menjadi pelajaran berharga. Dengan pengelolaan dan pengembangan yang tepat, Bandara Dhoho dapat menjadi aset penting bagi Kediri dan sekitarnya. Namun, dibutuhkan langkah strategis dan komprehensif untuk mengatasi permasalahan yang ada.