Mimpi memiliki rumah pertama bagi banyak orang Indonesia kini terganjal oleh masalah yang tak terduga: riwayat kredit buruk di Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK. Ironisnya, penyebab utama bukanlah kredit besar seperti kartu kredit, melainkan tunggakan kecil dari pinjaman online (pinjol) dan paylater. Meskipun pemerintah gencar mendorong program penyediaan 3 juta rumah, sekitar 70 persen calon debitur KPR justru ditolak karena catatan negatif di SLIK. Keterlambatan pembayaran, bahkan hanya Rp 100.000 sekalipun, sudah cukup untuk mencoreng riwayat kredit dan menutup peluang mendapatkan KPR.
Pinjol dan paylater, awalnya digadang-gadang sebagai solusi inklusi keuangan, kini justru menjadi penghambat akses properti bagi generasi muda. Data OJK menunjukkan pertumbuhan pesat nilai outstanding pinjaman pinjol dan paylater, yang sebagian besar digunakan oleh kelompok usia produktif (21-35 tahun), yakni segmen yang juga menjadi target utama KPR. Kondisi ini menciptakan distorsi besar dalam akses pembiayaan, di mana banyak pekerja muda dengan penghasilan stabil terbebani catatan kredit masa lalu yang mungkin tidak lagi relevan dengan kondisi keuangan mereka saat ini. Sistem kredit formal dinilai terlalu kaku dan gagal membedakan risiko aktual dengan jejak digital yang kurang kontekstual.
Alternative Credit Scoring (ACS): Membuka Pintu Rumah Pertama
Regulasi baru OJK, POJK 29 Tahun 2024 tentang Pemeringkat Kredit Alternatif (PKA) atau Alternative Credit Scoring (ACS), menawarkan solusi inovatif. ACS memungkinkan penilaian kelayakan kredit yang lebih holistik dan inklusif. Sistem ini tidak hanya bergantung pada riwayat kredit formal di SLIK, tetapi juga mempertimbangkan data alternatif.
Data alternatif yang dipertimbangkan meliputi histori transaksi e-commerce, pembayaran tagihan rutin (listrik, telepon), pola pengeluaran melalui dompet digital, bahkan data geospasial. Dengan ACS, seseorang yang memiliki catatan buruk di SLIK akibat tunggakan kecil di masa lalu, tetapi kini memiliki perilaku keuangan yang baik, tetap berpeluang mendapatkan KPR. ACS juga berpotensi menertibkan ekosistem pinjol dan paylater, mendorong mereka untuk lebih bertanggung jawab dalam menyalurkan pinjaman.
Skema Rent-to-Own (RTO): Sewa Hari Ini, Milik Esok
Skema rent-to-own (RTO), yang mirip dengan akad Ijarah Muntahiyah bi Tamlik (IMBT) di perbankan syariah, menawarkan alternatif menarik bagi calon pemilik rumah pertama. Dalam skema ini, penyewa bisa menikmati hunian sekaligus menabung untuk kepemilikan di masa mendatang.
Tanggung jawab perawatan dibagi secara adil antara penyewa dan pemilik (bank). Cicilan sewa tetap dan terhindar dari fluktuasi suku bunga, memberikan kepastian finansial bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). RTO-IMBT terbukti efektif di negara lain seperti Malaysia, dan berpotensi menjadi solusi komplementer bagi KPR bersubsidi di Indonesia. Integrasi RTO dengan ACS akan memungkinkan bank menilai kapasitas bayar berdasarkan riwayat pembayaran sewa bulanan, sekaligus membantu “merehabilitasi” skor kredit debitur yang terdampak pinjol dan paylater.
Pemutihan Berkeadilan: Restrukturisasi Utang Mikro
Juga perlu adanya kebijakan “pemutihan berkeadilan” untuk mengatasi masalah tunggakan mikro yang menyebabkan banyak orang terjerat daftar merah SLIK. Penghapusan atau restrukturisasi utang konsumtif kecil akan memungkinkan debitur untuk “lahir kembali” dalam sistem kredit formal.
Negara-negara lain seperti Brasil dan Filipina telah menerapkan program serupa dengan hasil yang positif. Indonesia bisa mengadopsi pendekatan yang memadukan penghapusan utang mikro dengan pemantauan perilaku kredit melalui PKA. Dengan begitu, debitur diberi kesempatan kedua, sementara moral hazard dapat dikendalikan. Program ini diharapkan mampu memberikan suntikan signifikan terhadap perekonomian nasional dengan mendorong akses terhadap pembiayaan perumahan dan menciptakan lapangan kerja di sektor konstruksi.
Kesimpulannya, akses terhadap rumah pertama bukan hanya soal ketersediaan hunian, tetapi juga akses terhadap pembiayaan yang adil dan inklusif. Penerapan ACS, skema RTO-IMBT, dan pemutihan berkeadilan, diiringi dengan peningkatan literasi keuangan, dapat membuka jalan bagi terwujudnya mimpi memiliki rumah bagi lebih banyak warga Indonesia. Dengan langkah-langkah ini, rumah pertama diharapkan menjadi hak, bukan hukuman.