Ibadah haji, rukun Islam kelima, mengharuskan umat Muslim menunaikannya di Mekkah, Arab Saudi. Namun, sebelum adanya sistem kesehatan modern, perjalanan haji menyimpan risiko tersendiri, terutama penyebaran penyakit menular.
Pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, pemerintah Hindia Belanda menerapkan kebijakan karantina bagi para jamaah haji, salah satunya di Pulau Rubiah, Aceh. Kebijakan ini tidak hanya bertujuan mencegah penyebaran penyakit, tetapi juga sebagai upaya meraih simpati masyarakat Aceh.
Pusat Karantina Haji di Pulau Rubiah: Sebuah Lembaran Sejarah
Pulau Rubiah, terletak di Kota Sabang, Provinsi Aceh, menjadi saksi bisu sejarah pelaksanaan karantina haji pada masa kolonial. Kurangnya vaksin dan teknologi medis canggih kala itu membuat karantina menjadi langkah krusial.
Menurut Albina Ar Rahman, Pendiri Sabang Heritage Society (SHS), karantina wajib dijalani para jamaah haji yang pulang dari luar negeri guna mencegah penyebaran penyakit. Hal ini diungkapkannya berdasarkan informasi dari Kementerian Agama.
Fasilitas Karantina yang Cukup Lengkap untuk Zamannya
Teuku Yahya, keturunan pemilik sebagian lahan di Pulau Rubiah, menceritakan detail fasilitas karantina haji tersebut. Bangunan karantina yang dibangun Belanda tergolong lengkap untuk standar zamannya.
Fasilitas tersebut mencakup penginapan, rumah sakit, layanan laundry, kamar mandi, dan bahkan listrik. Jamaah haji akan menginap di pulau ini sebelum diangkut ke kapal yang lebih besar menuju tanah air.
Gedung karantina haji ini menempati lebih dari separuh Pulau Rubiah. Keberadaan rumah sakit dan fasilitas laundry menunjukkan komitmen Belanda dalam menyediakan layanan kesehatan dan kenyamanan bagi para jamaah.
Perubahan Fungsi: Dari Pusat Karantina Menjadi Barak Tentara
Kedatangan Jepang di Indonesia memaksa Belanda meninggalkan wilayah tersebut. Gedung karantina haji Pulau Rubiah pun beralih fungsi menjadi barak tentara Jepang.
Pada tahun 1944, Belanda kembali dan terjadi pertempuran dengan Jepang. Sayangnya, beberapa bangunan pusat karantina haji mengalami kerusakan akibat pertempuran tersebut.
Sisa-Sisa Sejarah yang Memudar
Saat ini, hanya menyisakan dua bangunan tua yang kondisinya sudah memprihatinkan. Bangunan-bangunan lainnya telah lapuk dimakan usia dan tergerus waktu.
Meskipun terbengkalai, kedua bangunan tersebut tetap menyimpan nilai sejarah yang berharga. Mereka menjadi bukti nyata tentang praktik karantina haji dan perjalanan haji pada masa kolonial Belanda.
Selain Pulau Rubiah, Pulau Onrust di Kepulauan Seribu juga digunakan sebagai pusat karantina haji. Pulau Rubiah melayani jamaah haji dari Aceh dan Sumatera, sedangkan Pulau Onrust melayani jamaah haji dari Jawa.
Kisah Pulau Rubiah mengingatkan kita akan tantangan kesehatan dan logistik yang dihadapi para jamaah haji pada masa lalu. Meskipun fasilitasnya sederhana dibandingkan standar modern, upaya karantina tersebut menunjukkan perhatian, walau terlambat, terhadap kesehatan para jamaah haji.
Jejak-jejak sejarah ini patut dilestarikan sebagai pembelajaran bagi generasi mendatang. Agar kita tetap mengingat perjuangan dan pengorbanan para jamaah haji di masa lalu, serta menghargai perkembangan sistem kesehatan yang kita nikmati saat ini.