Polemik kepemilikan empat pulau di perairan Aceh dan Sumatera Utara, yakni Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Kecil, dan Pulau Mangkir Besar, kembali mencuat. Perdebatan mengenai status kepemilikan pulau-pulau tersebut telah berlangsung lama, melibatkan Pemerintah Aceh dan Sumatera Utara. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) pun turut memberikan pandangannya terkait sengketa ini.
JK secara tegas menyatakan bahwa keempat pulau tersebut secara historis dan formal merupakan bagian dari wilayah Aceh Singkil. Pernyataan ini disampaikan berdasarkan kajian historis dan landasan hukum yang ia yakini kuat.
Dasar Hukum dan Historis Kepemilikan Pulau-Pulau Sengketa
JK menghubungkan polemik ini dengan perjanjian damai Helsinki tahun 2005 antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Perjanjian tersebut, menurutnya, menetapkan batas wilayah Aceh mengacu pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956.
Undang-Undang tersebut secara resmi menetapkan Provinsi Aceh sebagai daerah otonom dan memisahkannya dari Sumatera Utara. JK menekankan bahwa keempat pulau yang disengketakan telah secara historis termasuk dalam wilayah Aceh Singkil, jauh sebelum adanya perubahan administrasi pemerintahan.
Keberadaan pulau-pulau tersebut dekat dengan wilayah Sumatera Utara, menurut JK, bukan merupakan alasan yang cukup untuk mengubah status kepemilikannya. Hal ini dikarenakan landasan hukum yang lebih kuat, yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956, telah menetapkan kepemilikan pulau-pulau tersebut berada di Aceh.
Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Perannya dalam Sengketa
JK juga menanggapi Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menetapkan empat pulau tersebut sebagai bagian dari Sumatera Utara. Ia berpendapat bahwa Kepmendagri tersebut tidak dapat mengalahkan Undang-Undang yang lebih tinggi kedudukannya.
Menurutnya, sebuah Keputusan Menteri tidak dapat membatalkan atau mengubah isi sebuah Undang-Undang. Oleh karena itu, JK menilai Kepmendagri tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang cukup untuk mengubah status kepemilikan pulau-pulau tersebut.
Walaupun demikian, JK tetap menghormati keputusan Mendagri Tito Karnavian. Ia memahami pertimbangan efisiensi dan kedekatan geografis yang mungkin menjadi dasar pertimbangan Mendagri. Namun, JK mengingatkan pentingnya mempertimbangkan aspek historis dan hukum yang telah ada.
Solusi dan Harapan Terhadap Penyelesaian Sengketa
Terkait usulan pengelolaan bersama pulau-pulau tersebut oleh Aceh dan Sumatera Utara, JK menyatakan bahwa pengelolaan sumber daya alam (SDA) secara bersama-sama tidaklah memungkinkan. Apalagi, saat ini belum ada potensi SDA yang signifikan di pulau-pulau tersebut.
Ia menekankan perlunya pemerintah menyelesaikan polemik ini dengan bijak dan berdasarkan hukum yang berlaku. JK berharap pemerintah dapat mengambil keputusan yang adil dan mempertimbangkan semua aspek yang relevan, termasuk aspek historis dan hukum.
JK menutup pernyataan beliau dengan harapan agar pemerintah dapat segera menyelesaikan polemik ini dengan baik dan menemukan solusi yang adil dan diterima oleh semua pihak. Penyelesaian yang adil dan berlandaskan hukum menjadi kunci utama dalam menjaga stabilitas dan keutuhan NKRI.