Anggota Komisi XII DPR, Muhammad Haris, mendesak pemerintah untuk mencabut izin perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Raja Ampat. Desakan ini muncul menyusul temuan pelanggaran lingkungan yang diakibatkan aktivitas pertambangan di kawasan tersebut. Kerusakan lingkungan yang terjadi menuntut tindakan tegas dari pemerintah pusat dan daerah.
Pemerintah dinilai harus bertanggung jawab penuh atas pengawasan dan penegakan hukum terhadap perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah yang rentan secara ekologis seperti Raja Ampat. Ketegasan dalam menindak perusahaan nakal menjadi kunci untuk melindungi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat setempat.
Desakan Pencabutan Izin Tambang Nikel di Raja Ampat
Muhammad Haris menegaskan perlunya pencabutan izin bagi perusahaan tambang yang terbukti melanggar aturan. Ia juga mendorong penghentian seluruh aktivitas pertambangan di wilayah konservasi Raja Ampat.
Pemulihan lingkungan, atau rehabilitasi ekologis, juga menjadi tuntutan penting. Proses pemulihan ini harus konkret dan melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal. Hal ini penting agar masyarakat juga merasakan dampak positif dari upaya pemulihan tersebut.
Investigasi dan Penegakan Hukum yang Tegas
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) didesak untuk melakukan investigasi menyeluruh terhadap aktivitas pertambang nikel yang merusak ekosistem Raja Ampat. Komisi XII DPR akan meminta laporan KLH terkait proses penegakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan yang melanggar.
Haris menekankan bahwa pelanggaran yang dilakukan perusahaan tambang bukan hanya pelanggaran administratif. Hal ini juga merupakan pelanggaran moral terhadap prinsip pembangunan berkelanjutan, melanggar UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan bertentangan dengan Putusan MK No. 35/PUU-XXI/2023.
Alternatif Ekonomi Berkelanjutan dan Peran Hukum Adat
Sebagai solusi jangka panjang, Haris menyoroti pentingnya pengembangan alternatif ekonomi berkelanjutan. Ekowisata berbasis masyarakat, misalnya, dapat menjadi alternatif yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Peran hukum adat juga perlu diperkuat dalam menjaga kelestarian alam Raja Ampat. Pemanfaatan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam akan memberikan perlindungan yang lebih berkelanjutan bagi ekosistem Raja Ampat.
Daftar Perusahaan Tambang Nikel di Raja Ampat
Lima perusahaan tambang beroperasi di perairan Raja Ampat. Berikut rinciannya:
PT Gag Nikel
PT Gag Nikel memegang Kontrak Karya (KK) Generasi VII seluas 13.136 hektar di Pulau Gag. Perusahaan ini telah memasuki tahap operasi produksi berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 430.K/30/DJB/2017 yang berlaku hingga 30 November 2047.
PT Anugerah Surya Pratama (ASP)
PT ASP memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi seluas 1.173 hektar di Pulau Manuran. Izin ini berdasarkan SK Menteri ESDM No. 91201051135050013 dan berlaku sejak 7 Januari 2024 hingga 7 Januari 2034. Perusahaan ini memiliki dokumen AMDAL dan UKL-UPL sejak 2006.
PT Mulia Raymond Perkasa (MRP)
PT MRP memegang IUP berdasarkan SK Bupati Raja Ampat No. 153.A Tahun 2013 yang berlaku hingga 26 Februari 2033. Wilayah konsesinya mencakup 2.193 hektar di Pulau Batang Pele.
Pulau-pulau lainnya yang menjadi lokasi pertambangan adalah Pulau Manuran, Pulau Batang Pele, Pulau Kawe, dan Pulau Waigeo. Ekosistem Raja Ampat yang unik dan rapuh harus dilindungi dari eksploitasi berlebihan. Keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat harus diutamakan dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayah tersebut. Harapannya, desakan pencabutan izin ini dapat menjadi langkah awal menuju pengelolaan sumber daya alam yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan di Raja Ampat.