Bayangkan dinding-dinding tinggi dan tebal dari sebuah rumah sakit jiwa abad ke-19. Di baliknya tersimpan kisah kelam yang hingga kini masih menggetarkan hati. Bukannya menjadi tempat penyembuhan, institusi ini justru menjadi penjara bagi jiwa-jiwa yang tersiksa, tempat derita dan keputusasaan mencengkeram.
Rumah sakit jiwa pada masa itu seringkali menjadi tempat pembuangan bagi mereka yang dianggap “tidak normal” oleh masyarakat. Sistem medis kala itu belum memahami kesehatan jiwa secara mendalam. Akibatnya, ribuan orang menjadi korban kekejaman atas nama ilmu pengetahuan, agama, dan moralitas sosial.
Ketika Jiwa yang Tersiksa Disebut Gila
Siapa saja yang bisa berakhir di rumah sakit jiwa abad ke-19? Hampir siapapun.
Bukan hanya mereka yang mengidap skizofrenia, bipolar, atau epilepsi, tetapi juga wanita yang dianggap “terlalu emosional”, ibu rumah tangga yang melawan suami, bahkan anak yatim piatu yang dianggap mengganggu ketertiban.
Dalam masyarakat patriarkis dan diskriminatif, banyak perempuan yang hanya karena menangis atau bersedih didiagnosis “histeria”—diagnosis yang kini dianggap tidak berdasar. Korban kekerasan rumah tangga pun seringkali dibuang ke rumah sakit jiwa.
Orang miskin, tunawisma, penyendiri, atau lansia yang tidak lagi produktif juga sering dikirim ke sana karena dianggap beban. Semua ditempatkan bersama tanpa diagnosis, perawatan, dan harapan.
Di Balik Dinding Tertutup: Neraka dalam Nama Ilmu
Kondisi fisik rumah sakit jiwa pada masa itu sangat memprihatinkan.
Pasien dikurung di ruangan sempit dan gelap tanpa ventilasi, beralas lantai batu dingin atau jerami kotor. Tidak ada tempat tidur yang nyaman, tidak ada selimut hangat.
Makanan yang diberikan sangat minim gizi, hanya cukup untuk mempertahankan hidup. Suara teriakan, tangisan, dan ratapan menjadi latar belakang kehidupan sehari-hari di tempat ini.
Eksperimen Mengerikan: Ketika Dokter Menjadi Algojo
Tragedi semakin mendalam karena pasien tidak hanya dikurung, tetapi juga dijadikan objek eksperimen medis yang kejam.
Terapi kejut listrik, pembenaman dalam air es, bahkan trepanasi (pengeboran tengkorak) dilakukan tanpa persetujuan dan etika.
Dokter jiwa seringkali bertindak sebagai pengawas brutal, melakukan eksperimen demi kepentingan pribadi atau reputasi akademik. Pasien menjadi kelinci percobaan tanpa pembela.
Bethlem Royal Hospital di London, atau yang dikenal sebagai Bedlam, menjadi contoh paling terkenal dari kekejaman ini.
Rumah sakit ini justru membuka pintu bagi pengunjung yang membayar tiket untuk menyaksikan “tingkah aneh” pasien, seolah menyaksikan sebuah pertunjukan.
Penderitaan pasien menjadi hiburan bagi pengunjung. Sebuah ironi menyakitkan: manusia disiksa, sementara yang lain bersenang-senang menyaksikannya.
Kini, pemahaman tentang kesehatan mental telah jauh berkembang. Namun, kisah kelam rumah sakit jiwa abad ke-19 menjadi peringatan penting.
Sejarah ini mengingatkan kita betapa stigma, ketidaktahuan, dan kekuasaan dapat merampas kemanusiaan seseorang hanya karena dianggap berbeda.
Semoga sejarah ini menjadi pelajaran berharga agar tragedi serupa tidak terulang kembali. Kita perlu terus berupaya meningkatkan pemahaman dan empati terhadap kesehatan mental.