Dunia menghadapi krisis lingkungan yang saling terkait: perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, dan polusi. Sampah plastik, menjadi sorotan utama Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025 dengan tema “Hentikan Polusi Plastik”, merupakan pendorong utama dari krisis-krisis tersebut.
Polusi plastik merusak ekosistem, mengancam flora dan fauna, dan memperparah perubahan iklim. Indonesia, sebagai salah satu negara yang terdampak, memiliki tantangan besar dalam mengatasi masalah ini.
Ancaman Plastik: Dampak Global dan Lokal
Sampah plastik yang mencemari lingkungan menyebabkan kerusakan ekosistem, terutama di area penyerap karbon seperti hutan mangrove. Hal ini berkontribusi pada peningkatan suhu global, memperburuk perubahan iklim.
Di Indonesia, sampah plastik menempati posisi kedua terbesar setelah sisa makanan. Data SIPSN menunjukkan peningkatan signifikan jumlah sampah plastik, dari 11 persen pada 2010 menjadi 19,74 persen pada 2024.
Berbeda dengan sampah organik, plastik yang berasal dari bahan bakar fosil sulit terurai. Ia bertahan puluhan tahun di lingkungan, terdegradasi menjadi mikroplastik dan nanoplastik yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan hewan.
Polusi plastik juga menjadi masalah lintas batas. Sampah plastik “made in Indonesia” dapat mencemari perairan internasional, bahkan mencapai negara lain. Sebaliknya, sampah plastik dari negara lain juga dapat terdampar di Indonesia.
Upaya Pemerintah Indonesia Mengatasi Krisis Sampah Plastik
Sejak akhir 2024, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) intensif mengupayakan penanganan sampah plastik di Indonesia. Salah satu fokusnya adalah menghentikan impor bahan baku sampah untuk industri daur ulang.
KLH juga melakukan penertiban terhadap Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) yang melakukan pembuangan sampah terbuka (open dumping). Hingga kini, 343 TPA telah mendapat sanksi administrasi, beberapa bahkan diproses secara pidana.
Penutupan TPA open dumping juga dilakukan, meski seringkali mendapat penolakan dari warga. Bahkan, gugatan class action sempat terjadi terkait penutupan TPA Basirih di Banjarmasin.
Untuk mencapai target pengelolaan sampah 100 persen pada 2029, pemerintah mempercepat pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Target pembangunan PLTSa kini meningkat menjadi 33 lokasi, dari target awal 12 kota.
Kerugian Ekonomi dan Solusi Jangka Panjang
Penelitian BRIN menunjukkan kerugian ekonomi signifikan akibat sampah plastik yang mencemari perairan. Estimasi kerugian mencapai Rp25 triliun hingga Rp255 triliun per tahun.
Sekitar 10-20 persen sampah dari Indonesia berakhir di perairan internasional, bahkan hingga Afrika Selatan dalam waktu sekitar satu tahun. Ini menggambarkan dampak luas polusi plastik yang memerlukan penanganan serius.
Solusi jangka panjang membutuhkan kolaborasi berbagai pihak. Selain upaya pemerintah, peran industri dan masyarakat sangat penting dalam mengurangi produksi dan mengelola sampah plastik secara berkelanjutan.
Edukasi publik tentang bahaya polusi plastik dan pentingnya daur ulang juga krusial. Inovasi teknologi pengolahan sampah dan pengembangan alternatif bahan kemasan yang ramah lingkungan juga perlu terus dikembangkan.
Mengatasi krisis sampah plastik memerlukan komitmen dan aksi nyata dari semua pihak. Hanya dengan kerja sama yang kuat dan langkah-langkah terpadu, kita dapat melindungi lingkungan dan masa depan generasi mendatang.